Pelajaran dari Perjalanan
Tuesday, July 16, 2024
Lomba Blog Dompet Dhuafa
Saturday, February 5, 2022
#CatatanKecil
Haruskah ada ikatan diantara dua insan yang awalnya tak saling mengenal? Adakah satu waktu yang Tuhan berikan untuk kita saling mengikat? Sejatinya, ikatan yang kita buat tidak untuk mengekang, justru untuk saling melindungi. Sebab, sejauh apapun kakiku melangkah, tempat kembali ku adalah kamu. Bila adanya matahari bisa berganti dengan bulan, aku harap, hadirmu tak pernah berganti dengan apapun. Menetaplah lebih lama, selamanya.
Jakarta,
5 Februari 2022, 15:02
Thursday, January 27, 2022
-{ Senyummu dalam Mimpiku}-
oleh: Z.Amatillah
Selepas sholat maghrib berjama'ah dan doa bersama, ku awali tidur pukul 7. Lalu, kegelisahan membangunkanku pukul 3 pagi karena belum menyelesaikan kewajiban sholat isya.
Aku memilih sholat isya di tempat biasanya ayah melaksanakan sholat malam. Sekelibat terlintas, "Biasanya ayah sholat di sini, jam segini". Kebiasaan beliau hanya bisa dikenang dan dirasa.
Waktu menunjukkan pukul 3 lewat, masih ada waktu untuk melanjutkan tidur sambil menunggu waktu subuh.
Aku memilih posisi tidur paling tidak nyaman, tujuannya adalah agar aku tidak pulas dan kebablasan. Namun ternyata, dalam ketidaknyamanan posisi tidurku, ada mimpi yang membuatku sangat nyaman; aku bertemu ayah dan seseorang yang entah kapan terakhir kali aku bertemu dengannya.
Terakhir mimpi bertemu dengan ayah sekitar 2 bulan lalu. Dalam mimpiku kali ini, ayah sangat ceria, tersenyum lebar sambil memberikan jempolnya ke arahku.
Saat itu, aku sedang bersama dengan seorang pria yang aku hapal dengan jelas nama serta mata sipitnya. Entah karena aku habis melihat postingannya atau bagaimana sehingga ia terbawa dalam mimpiku.
Kami sedang main bareng di bagian belakang rumah. He looks like a child haha, tapi tetap dengan perawakan cool-nya kok hehe. Kita main busa balon, laah kok kita jadi kaya anak-anak wkwk. Gak apa, yang penting mimpiku seru dan bahagia.
Tetiba nenek ku menghampiri dan bertanya, "Itu pacar lu?"
Aku hanya tersenyum dan sedikit bercanda melontarkan kalimat, "Gosip aja gosip.."
Kupalingkan wajah dari nenek, menghadap lurus ke depan, sekitar 10 meter, orang-orang sedang berkumpul berteriak sambil bertepuk tangan, disambut dengan kedatangan ayah yang tiba-tiba.
"Kok ayah ada di sini, kan ayah udah meninggal. Kok ayah nyata?" kataku sambil menangis yang membuat aku terbangun.
Ini adalah kali ketiga aku bangun tidur dengan air mata yang menempul di wajahku. Apakah air mata ketiga ini adalah air mata kebahagiaan ataukah air mata kerinduan?
Terimkasih sudah hadir dalam mimpi, walaupun tidak dalam keadaan yang nyata.
Jakarta,
22 Januari 2022, 06:27
Saturday, January 1, 2022
#CatatanKecil
Bila aku disuruh melupakanmu; aku adalah manusia yang paling berusaha keras! Sebab, mengingatmu hanya akan menambah kesakitan dan pikiran yang tak kutemukan penyembuhan serta penyelesaian nya.
Bila aku disuruh mengenangmu; aku adalah manusia yang sangat gigih berusaha menyimpanmu dalam memori terkecil otak ku. Sebab, kau adalah bagian dari perjalanan yang memampukan aku menjadi kuat. Terimakasih!
1 Januari 2022, 22:35
-{Privilege
Berkarantina}-
oleh:
Z.Amatillah
Tulisan
ini saya buat sejak beberapa hari lalu, yang baru hari ini saya rampungkan,
yang mungkin sudah dibicarakan banyak orang terkait peraturan pemerintah
mengenai karantina.
Peraturan
yang mungkin sudah familiar terkait karantina bagi WNA-WNI yang baru saja tiba
di Indonesia setelah melakukan penerbangan
luar negeri.
Berbagai
peraturan sewaktu-waktu berubah, mulai dari karantina 5 hari, berubah ke-3
hari, berubah lagi ke-5, ke-7 dan terakhir sampai tulisan ini dibuat, karantina
berlaku selama 10 hari.
Hampir
satu bulan saya bertugas di tempat yang bisa dibilang tempat karantina ini
cocok bagi mereka yang "memiliki uang berlebih", dengan latar
belakang pendidikan serta jabatan yang bukan main-main.
Namun
dibalik itu semua, pasti kamu pernah
mendengar "peraturan dibuat untuk dilanggar". Ya, sebagian dari
mereka memilih melanggar untuk tidak melakukan karantina dengan berbagai
alasan. Entah urusan negara atau apapun itu yang menurut saya; alasan yang
mereka ajukan sangat tidak dibenarkan.
Saya
mengatakan sebagian, tidak semua, hanya secuil dari mereka yang
"memanfaatkan privilege" yang dipunya.
Memang
benar adanya "orang berduit bebas melakukan apapun". Apakah ini
alasan orang-orang ingin menjadi kaya? Menggadaikan hati nurani mereka demi
kebahagiaan yang bisa saja langsung hilang.
Satu
pertanyaan yang tak pernah saya lontarkan kepada mereka, apakah virus akan "insecure" melihat "orang
kaya"? Sehingga haram baginya untuk hidup menumpang di tubuh para pemilik
uang yang hartanya tak dapat terhitung?
Saya
tak akan melontarkan pertanyaan itu, karena sudah pasti jawabannya adalah;
virus tak mengenal kaya dan miskin, serta jabatan atau pangkat apapun yang ada
di bahu seseorang!
Apakah
adalah sebuah kerugian bagi mereka bila tak menggunakan privilege tersebut?
Bagi
mereka yang mempunyai privilege, mereka akan berusaha menyelesaikan karantina
secepat mungkin. Entah karena memang ada urusan negara atau urusan lain yang
disangkut pautkan dengan urusan negara, sehingga hal itulah yang menjadi
keuntungan bagi mereka yang memiliki power.
Salah
satu peraturan yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa pejabat asing
setingkat menteri ke atas beserta rombongan kunjungan resmi kenegaraan dibebaskan
dari karantina? Atau peraturan apapun itu yang "menguntungkan" bagi
oknum tertentu.
Apakah
sepenting itu kehadiran mereka dalam rapat ataupun kegiatan negara, hingga bisa
terbebas dari perangkap 10 hari?
Saya
rasa, kalaupun orang penting harus menghadiri rapat, bisa secara online, zaman
sudah canggih. Kalaupun ada berkas yang harus ditandatangani, kami memberikan
akses agar dokumen tersebut sampai ke kamar tamu karantina.
Benar
adanya, hukum ada untuk dilanggar bagi mereka yang memiliki kekuasaan! Miris!
Jika
pemerintah yang membuat aturan, harusnya mereka sudah memahami segala risiko
dan sudah sepatutnya peraturan yang mereka buat diberlakukan pukul rata.
Mungkin
hal itulah yang membedakan pemerintah dengan tenaga medis yang bekerja di rumah
sakit. Bagi kami tenaga medis, sedari awal sudah disumpah untuk tidak
membedakan siapapun atas dasar apapun. Tapi itu semua berbalik lagi ke individu
masing-masing.
Ada
cerita lain yang membuat saya berpikir bahwa "sepertinya saya tidak bisa
untuk tetap stay bekerja di sini, ada pertentangan batin yang tidak sejalan
dengan pemikiran mereka".
Siang
lalu, ada orang kepercayaan Tn. X datang menemui Nakes dan Satgas dengan tujuan
"melobi", apakah anak atasannya bisa mendapatkan diskresi saat
karantina.
Saya
mengartikan diskresi dalam hal ini sebagai pemotongan masa karantina. Ada
beberapa syarat untuk mendapatkan surat diskresi, namun tak ada satu pun syarat
yang sesuai dengan orang tersebut.
Bapak
tangan kanan mengatakan bahwa anak majikannya hanya memiliki libur kuliah 12
hari di Indonesia, apabila 10 hari digunakan untuk karantina, maka ia hanya
memiliki 2 hari untuk berkumpul bersama keluarga dan temannya.
Oleh
karena itu, ia minta diberikan diskresi agar karantina hanya dilakukan satu
hari saja. Cukup miris mendengar permintaannya.
Mendengar
penjelasan mereka, saya lebih banyak diam. Sekiranya, satgas sudah cukup
menjelaskan.
Sedih
melihat orang yang memiliki pendidikan
dan jabatan yang tinggi melakukan apapun yang mereka mau. Untungnya
orang ini tak jadi melakukan karantina di tempat saya.
Satu
hal yang mungkin mereka lupa bahwa tujuan dari karantina adalah untuk melihat
masa inkubasi si virus. Bisa saja saat dilakukan PCR di bandara hasil yang
didapatkan negatif, namun sebenarnya virus tersebut ada di dalam tubuh orang
yang bersangkutan namun belum terdeteksi.
Mekanisme
PCR bagi tamu karantina adalah PCR di hari pertama yang dilakukan di bandara,
dan PCR kedua yang dilakukan di hotel pada hari ke-9 karantina.
Kalau
dipikir jeleknya dari cerita yang saya sampaikan; bila orang tersebut hanya
melakukan karantina 1 hari dan ternyata di dalam tubuhnya ada virus, kemudian
dia berkeliaran ke lingkungannya, berarti dia sudah menyebarkan virus yang ia
dapat dari luar negeri kepada orang sekitar. Mau sampai kapan pandemi ini
berakhir?!
Namun
tidak semua orang berbuat sesuai kehendak mereka. Pagi tadi, saat saya menerima
tamu baru, seorang bapak bertanya, "Mba-nya perawat?"
Saya
menjawab dengan singkat dan senyuman mata, "iya".
"Istri
saya juga perawat mba, ya kalau mau gak karantina bisa ajah, tapi kita kan
harus patuh sama peraturan." katanya tegas.
Luar
biasa, tidak ada baginya keegoisan, padahal Bapak ini memiliki akses untuk
tidak berkarantina.
Ucapan
terimakasih setinggi-tingginya bagi mereka yang dengan sabar melakukan
karantina dengan tetap mematuhi peraturan pemerintah serta protokol kesehatan.
Banyak
pembelajaran yang saya dapat terkait dengan sumpah profesi saya dalam hal ini.
Lagi dan lagi, kita sama-sama belajar bahwa kita tak boleh membedakan siapapun
atas dasar apapun. Semoga kita selalu terjaga. Aamiin.
Dalam
tulisan ini, saya tidak menyalahkan instansi apapun, hanya pada oknum tertentu
yang memanfaatkan privilege-nya.
Jakarta,
11
Desember 2021, 21:15
-{Buya Marah di Tahun Baru}-
oleh: Z.Amatillah
Seingat ku, aku tak pernah menceritakan perihal ini kepada selain keluarga kecilku. Tapi, kayanya boleh juga cerita singkat ini untuk di share hehe.
Waktu itu, saat pergantian tahun masehi. Ketiga anak perempuan buya; muhdah, azaa dan aku serta salah seorang sahabat Kak ii pergi ke tengah kota. Tujuannya adalah untuk melihat kantor baru sahabatnya Kak ii. Kak ii adalah kakak perempuan pertama dalam keluarga kami. Beberapa sahabatnya sering main ke rumah, sudah seperti kakak sendiri.
Setelah lihat kantornya, kami pulang. Namun jalanan macet. Banyak orang yang memberhentikan kendaraannya untuk menyaksikan kembang api di pergantian tahun masehi. Sementara kami berempat, tetap berada di mobil, memantau keadaan sekitar yang riweh dengan orang-orang bergerombol untuk melihat momen setahun sekali.
Cukup lama kami menghabiskan waktu di mobil, maklum Jakarta saat itu lumayan macet. Sesampainya kami bertiga di rumah, buya marah. Marahnya buya hanya sekadar lisan. Selama buya hidup, buya tak pernah memarahiku menggunakan fisik, lisan pun hanya seperlunya, tak menyudutkan atau merendahkan marwah seorang anak. Buya adalah orang yang mampu mengontrol emosi, hanya marah sebatasnya, tak pernah lebih.
"Buya nyuruh orang-orang tahun baru diem di rumah, kamu malah keluar." kata buya dengan nada marahnya kepada ketiga putrinya.
Tak banyak penyangkalan dari kami, karena memang kami salah, tapi mungkin buya kira kami mengikuti orang-orang; merayakan tahun baru dengan keluar rumah, pesta petasan atau apapun itu. Padahal tujuan kami keluar rumah bukan untuk sebuah perayaan yang memang tak pernah kami rayakan. Kalaupun ada acara bakar-bakar atau kumpul keluarga, hanya karena momennya pas saja.
KPBD,
1 Januari 2022, 15:17
.jpeg)
